Selasa, 18 Januari 2011

CERDAS MEMAHAMI, CERDAS MENGIMAMI


Ahmad Nurkhalish
Satu ketika Dzunnun Al Mishri berlayar  dengan sebuah perahu bersama para muridnya.  Menikmati indahnya Sungai Nil.  Seraya menikmati indahnya pemandangan Dzunnun Al Mishri dan muridnya melantunkan dzkir dan pujian kepada Sang Maha Pencipta. Tak lama kemudian kekhusyuan mereka terusik  oleh sekelompok anak muda yang sedang main gitar berhura-hura sambil berteriak-teriak tak jelas.  Dan hal itu membangkitkan emosi para murid Dzunnun.
Murid Dzunnun  meminta Gurunya untuk mendoakan agar perahu anak-anak muda berandalan itu agar ditenggelamkan Tuhan ke dasar Sungai Nil. Mereka sangat yakin doa gurunya akan diijabah oleh Allah.
Kemudian  Dzunnunpun berdoa bermunajat kepada Allah, “Ya Allah, sebagimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, berilah juga mereka satu kehidupan yang menyenangkan di akherat kelak”

  Murid Dzunnun sontak kaget, tak menyangka Dzunnun akan berdoa seperti itu. Tak seperti yang mereka inginkan. Doa agar sekelompok anak muda berandalan itu ditenggelamkan. Hal yang mengejutkan terjadi beberapa saat kemudian, ketika perahu mereka kian dekat berpapasan, anak-anak muda itu kaget melihat Dzunnun ada di perahu yang sedang mereka lewati.  Mereka merasa segan, bahkan menyesal  seolah ada magnet kharisma yang luar biasa menghantam jiwa mereka ketika menatap wajah Dzunnun.  Mereka mendekati Dzunnun dan menyatakan keinginan mereka untuk bertaubat dan menghiba bimbingan beliau. Bahkan anak muda itu meremukkan  alat-alat musik mereka.
Lalu Dzunnun memberikan nasehat kepada murid-muridnya, “Kehidupan yang menyenangkan di akherat  kelak adalah bertaubat di dunia ini. Dengan cara  begini, kalian dan mereka puas tanpa merugikan siapapun.”
Sepenggal kisah di atas, mengingatkan kita bahwa di sekitar kita masih banyak sekelompok anak muda yang masih “lalai” dan “jauh” dari sentuhan Risalah Rasulullah SAW.  Meskipun orang tua mereka adalah penganut agama Islam.  Terbuai dengan kehidupan ala “Barat”, ikut-ikutan terseret prilaku negatif dan yang lebih memperihatinkan terjebak dalam ritual agama lain. Seperti contoh, tak dapat dipungkiri sebagian besar remaja kita bahkan mungkin juga orang tua mereka ikut-ikutan merayakan Hari Valentine, yang dalam dalam fikiran mereka tentu saja sebagai Hari Kasih Sayang tanpa didasari pemahaman lebih dalam.
Mereka sedang hanyut di arus sungai ketidakmengertian, dan ironisnya kita yang faqih, kita yang faham justru terjebak dalam tindakan emosional seperti murid-murid Dzunnun yang kesal dan jengkel pada anak muda yang asyik bermain musik. Bukan menyelamatkan tapi malah ingin mereka terus hanyut bahkan membiarkan mereka makin dalam tenggelam.

Padahal Rasulullah SAW. bersabda dalam Shahihain, diriwayatkan dari Anas :
" Permudahlah Jangan persulit, tenangkan dan jangan membuat mereka menghindar"


Dan dalam hadits lain, shahih Muslim, diriwayatkan dari Jabir r.a Rasulullah SAW bersabda,
" Allah tidak mengutusku untuk menyusahkan dan tidak pula untuk membuat bingung, tetapi Allah mengutusku untuk mengajarkan dan memudahkan"


CERDAS MEMAHAMI, CERDAS MENGIMAMI.
Saya suka sebuah konsep yang sederhana dari kata Cerdas. Dalam konsep pendidikan anak, PENULIS mengartikannya sebagai CER : “Ceritakan Kisah Cinta dan Teladan, DAS : Dasari mereka dengan akidah dan akhlak yang Indah.”
Tugas kita sekarang adalah cerdas memahami apa yang sedang terjadi pada remaja dan anak – anak kita. Mengapa mereka ikut-ikutan dalam ritual yang berseberangan dengan tuntunan agama islam? Sudahkah kita membekali mereka dengan pelajaran yang memadai? Dari mana dan di mana mereka dapatkan masukan dan tuntunan yang benar?  Sejauh ini kita juga sadar akan kurangnya  alokasi waktu jam pelajaran agama di sekolah-sekolah, sementara waktu mereka di sore hari juga kadang disita dengan bimbingan belajar sebagai salah satu efek kekhawatiran Guru dan orang  tua jangan sampai nilai anak mereka jeblok dan gagal  Ujian akhir Nasional.
Jika kita sudah memahami kondisi yang sebenarnya, maka tugas kita selanjutnya adalah “Cerdas Mengimami”. Selama ini mungkin anak-anak kita lebih banyak dijejali dengan gaya hidup idola mereka, yaitu selebriti, music, fashion lewat tayangan televisi, tabloid remaja, serta fitur atau konten yang bisa mereka akses di media internet pun melalui Hand Phone mereka. Jika ini yang terjadi maka pekerjaan rumah kita selanjutnya adalah bagaimana mengenalkan mereka pada kisah cinta penuh inspiratif dari manusia –manusia terpuji.  Mengajak mereka kembali pada jalur shaf yang benar dan lurus. Menjadi bagian dalam kehidupan mereka, membaur dalam suasana keakraban. Menjelma  teman mengeja, menjadi kawan mengaji. dan yang tak kalah penting adalah sebagai "murabby" tentunya kita harus menjadi panutan bagi mereka. Karena kita adalah imam bagi mereka. Lisanul Hal afshahu min lisanil maqol yang berarti contoh dengan tindakan dan perbuatan lebih fashih dan berkesan dibanding nasehat yang hanya keluar melalui lisan perkataan.

CERDAS MENGASIHI, CERDAS MENGISAHKAN
"Dan semua kisah rasul-rasul itu Kami ceritakan kepadamu agar Kami meneguhkan hatimu dengannya; dan dalam kisah-kisah itu telah datang kepadamu kebenaran, pengajaran, dan peringatan bagi orang-orang yang beriman." (QS. Hud: 120)
Urgensi dari kisah dalam Al qur'an sangat besar manfaatnya dirasakan Rasulullah SAW. Keberadaan kisah para nabi terdahulu bukanlah dongeng pengantar tidur semata, tapi berperan sebagai peneguh hati Rasulullah SAW dan tentunya bagi umatnya juga.
 Begitu banyak mutiara hikmah bertebaran,  rabunnya mata generasi muda muslim kita harus kita buka lebar-lebar agar mereka dapat melihat kemilaunya  dan memungutnya sebagai perhiasan dalam meniti kehidupan. Kisah indahnya cinta Keuletan  Siti Hajar yang berlari antara Safa dan Marwa demi mencari seteguk air penawar tangis Ismail kecil yang kehausan pasti lebih menarik hati dari pada kebaikan peri pelindung  Cinderela yang hanya mengandalkan tongkat mustika. Kisah cinta pengorbanan sahabat Rasul, Sa’ad as Sulamy  yang rela meninggalkan calon pengantinnya demi mengejar syahid membela agama Allah dan akhirnya dinikahkan Allah dengan bidadari surga tentu tak kalah mempesona daripada sekedar kisah cinta Romeo dan Juliet.  Dan tentu saja banyak lagi kisah lainnya dan itu fakta bukan isapan jempol semata. Bukan fiksi khayyali, dikarang-karang, dibumbu-bumbui.   Kalaupun fiksi tentu kita juga harus mengarahkan anak-anak kita pada bacaan yang sehat, novel islami karya Habiburrahman el shirazy bisa menjadi pilihan, Kisah Perjuangan para Da’I meretas jalan Dakwah karya Mujahid Salbu tak kalah menggugah.

Tinggal tugas kita adalah Cerdas Mengasihi dan Cerdas Mengisahkan. Nabi SAW, telah memberikan tuntunan.
"Permudahlah dan jangan dipersulit, beri kabar gembira dan jangan membuat orang takut, membaurlah dan jangan menjaga jarak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Komunitas Rumah Dongeng yang ramah, pendekatan kepada organisasi kepemudaan, yang dilakukan dengan  bilhikmah wa mau 'idzatil hasanah diharapkan akan mempertajam upaya kita mendekatkan generasi muda kita kepada uswatun hasanah yang sebenarnya.


Saya berharap kisah -kisah ini diangkat oleh multimedia. Sebagaimana Sang Pencerah, Kisah teladan Kehidupan KH. Ahmad Dahlan difilmkan, kisah perjuangan para nabi dan rasul,  sahabat dan ulama pewaris risalah Rasulullah SAW. hendaknya terus kita kibar dan kabarkan. Dan saya yakin dan percaya media ini,  akan  menjadi salah satu kapal  Nuh As dengan layar terkembang  terus maju menantang gelombang agar generasi muda kita yang hanyut dapat kita selamatkan. (KA)

Selasa, 11 Januari 2011

Motto Pelayanan Kantor Camat Samboja


SIAP & CERDAS MELAYANI
SANTUN IKHLAS AKUNTABEL PROFESIONAL 
CERMAT BERDASARKAN ATURAN

Opini : Mengabdi Tak Harus Jadi Pegawai Negeri


SEANDAINYA tiap tahun pemerintah daerah merekrut calon pengusaha sebanyak calon pegawai negeri sipil. Seandainya ada sejumlah anggaran yang sama di APBD untuk gaji setahun, pelatihan, seragam pegawai, itu dipakai untuk melatih calon pengusaha itu, dan sebagian untuk modal awal mereka.

Seandainya separo saja dari calon pengusaha itu yang kelak benar-benar jadi pengusaha, maka pemerintah daerah sudah menghasilkan calon pembayar pajak dan penyumpang pendapatan dareah dan bukan mengumpulkan pegawai negeri saja yang hanya akan jadi beban APBD selama-lamanya, bahkan setelah pensiun kelak.

Saya pernah berada beberapa hari di Singapura, negeri jiran terdekat kita. Dalam kunjungan jurnalistik atas undangan sebuah departemen di sana setiap hari saya dan kawan-kawan wartawan dari Indonesia diurus oleh orang-orang muda. Mereka pegawai negeri. Statusnya semacam magang. Kenapa muda-muda? Rupanya, nanti satu-dua tahun kemudian mereka sudah berhenti dan bekerja di perusahaan swasta atau menjadi pengusaha. Dan departemen tersebut harus merekrut lagi para lulusan baru.

Di Singapura, saya simpulkan, rupanya pegawai negeri bukanlah pekerjaan impian dan jauh dari bergengsi.

Ini berbeda dengan Indonesia . Bagi sebagian besar penduduk di negeri ini, menjadi Pegawai negeri adalah pekerjaan idaman. Tiap tahun, lowongan pegawai negeri diburu. Gengsinya tinggi. Selama menjadi pemimpin redaksi, saya paling tidak kehilangan lima wartawan yang beralih profesi menjadi pegawai negeri. Aha, rupanya pekerjaan wartawan pun tidak lebih menarik daripada pegawai negeri.

Saya tidak anti-pegawai negeri. Bagaimanapun fungsi pelayanan di pemerintahan kita harus dijalankan oleh mereka. Tapi, lihatlah kondisinya saat ini. Kinerja pegawai negeri (profesi idaman itu) identik dengan birokrasi yang lamban dan bertele-tele, jauh dari semangat melayani rakyat dengan memuaskan. Dan pegawai negeri kita juga identik dengan gaji rendah, dan itu jadi alasan pembenar untuk korupsi.

Maka kita dengar, tak kurang dari seorang Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua dalam acara penyuluhan bertema “Usaha Memajukan Bangsa dan Negara Dimulai dari Keluarga Yang Beriman” di Departemen Keuangan, tepatnya di Kantor Menko Perekonomian, di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, tahun lalu menyatakan bahwa sebanyak 95 persen dari total Pegawai Negeri Sipil alias PNS korupsi.

Anda tahu jumlah pegawai negeri di Indonesia berapa? 3,7 juta! "Kelakuan buruk ini dipicu oleh gaji kelewat rendah yang diterima PNS," kata Abdullah Hehamahua.

Pegawai negeri banyak, birokrasi lamban, pengusaha sedikit, inilah yang membuat negeri ini lambat maju. Sejumlah penelitian menyimpulkan satu kesimpulan yang sama: Pegawai Negeri kita dan ongkos birokrasi kita sudah jadi beban berat negeri ini.

Coba simak angka ini: Pos belanja pegawai pemerintah pusat menurut APBN-P 2007 mencapai Rp98 triliun dan naik menjadi Rp 128 triliun pada APBN 2008. Nah, Anda tahu? Jumlah belanja pegawai tersebut setara dengan penerimaan sumberdaya alam yang besarnya Rp126 triliun? Artinya, hasil isi perut bumi negeri ini masih belum cukup untuk mengongkosi gaji PNS.

Tahun ini, pemerintah sudah bertekad bahwa penghasilan utama negera kita terutama dari sektor: Pajak! Itu sebabnya di awal tulisan ini saya beradai-andai. Seandainya pemerintah menciptakan kebijakan pendidikan, iklim usaha, yang membuat orang berlomba-lomba jadi pengusaha, artinya pemerintah sebenarnya menciptakan para pembayar pajak potensial!

Ciputra - pengusaha besar yang paling getol mengkampanyekan kewirausahaan di Indonesia itu - pernah mengatakan bahwa akar penyebab kemiskinan di negeri kita ini bukan semata akibat akses pendidikan. "Itu hanya sebagian. Penyebab utamanya adalah karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya," kata Ciputra.

“Kita banyak menciptakan sarjana pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja, itu membuat masyarakat kita terbiasa makan gaji sehingga tidak mandiri dan kreatif,” ujar Ciputra.

Nah, bagi seorang Ciputra bukan hanya menjadi pegawai negeri yang harus dikurangi tapi semua profesi yang masih berstatus pegawai, yang makan gajilah pokoknya.

Saya membaca buku Ciputra "Quantum Leap, Entrepreneurship". Ini buku amat bagus isi dan semangatnya, tapi ditulis dengan kurang maksimal. Kebesaran Ciputra seharusnya ditulis dengan sebuah buku yang jauh lebih tebal, lebih menggugah dan lebih menggelorakan semangat berwirausaha. Saya kira harus lebih banyak orang yang membaca buku itu.

Ini rujukan yang kerap dipakai Ciputra. Ia mengutip ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) David McClelland yang menjelaskan bahwa suatu negara disebut makmur jika minimal mempunyai jumlah wirausahawan minimal dua persen dari jumlah penduduk di negara tersebut.

Contohnya adalah Amerika. Pada 2007 lalu negara itu memiliki 11,5 persen wirausahawan di negaranya. Di Singapura ada 4,24 juta wirausahawan pada 2001 atau sekitar 2,1 persen dari penduduk. Empat tahun kemudian jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2 persen. Sementara Indonesia hanya memiliki wirausahawan 0,18 persen dar jumlah penduduk! Sangat sedikit.

Apa yang salah? “Negara kita terlalu banyak memiliki perguruan tinggi dan terlalu banyak menghasilkan sarjana, tetapi sayangnya tidak diimbangi dengan banyaknya lapangan kerja. Generasi muda kita tidak memiliki kecakapan menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri karena mereka terbiasa berpikir untuk mencari kerja” kata Ciputra.

Sudahlah, jangan lagi menambah pengangguran bergelar. Tahun 2008, di Indonesia punya 1,1 juta penganggur lulusan perguruan tinggi

Ayolah, para pengelola perguruan tinggi, ubah kebijakan Anda. Jangan bangga kalau alumni Anda menjadi kepala dinas ini dan itu. Tapi, banggalah kalau kelak Anda bisa menghasilkan pengusaha tangguh. Paling tidak itu bisa dimulai di fakultas ekonomi. Tirulah Israel . Tak bisa kita membantah bahwa pengusaha da perusahaan Yahudi mengusai perekonomia dunia. Apa yang membuat mereka sekuat itu? Salah satunya pendidikan.

Tak perlu malu meniru. Di Israel, mahasiswa di fakultas ekonomi belajar dengan agresif dan serius. Di sana , jurusan ini tidak dibuka dengan sembarangan karena mudah penyelenggaraannya. Dan yang paling menarik, adalah di akhir tahun di universitas, mahasiswa harus menggarap sebuah proyek bisnis berkelompok. Satu kelompok sekitar sepuluh orang. Dan mereka baru akan lulus jika proyek itu dapat keuntungan satu juta dolar AS! Atau Rp9 miliar dengan kurs Rp9.000 per dolar.

Dengan pengalaman menghasilkan uang sebesar itu, apakah mereka masih sangat ingin berebut jadi pegawai negeri? ***SEANDAINYA tiap tahun pemerintah daerah merekrut calon pengusaha sebanyak calon pegawai negeri sipil. Seandainya ada sejumlah anggaran yang sama di APBD untuk gaji setahun, pelatihan, seragam pegawai, itu dipakai untuk melatih calon pengusaha itu, dan sebagian untuk modal awal mereka.

Seandainya separo saja dari calon pengusaha itu yang kelak benar-benar jadi pengusaha, maka pemerintah daerah sudah menghasilkan calon pembayar pajak dan penyumpang pendapatan dareah dan bukan mengumpulkan pegawai negeri saja yang hanya akan jadi beban APBD selama-lamanya, bahkan setelah pensiun kelak.

Saya pernah berada beberapa hari di Singapura, negeri jiran terdekat kita. Dalam kunjungan jurnalistik atas undangan sebuah departemen di sana setiap hari saya dan kawan-kawan wartawan dari Indonesia diurus oleh orang-orang muda. Mereka pegawai negeri. Statusnya semacam magang. Kenapa muda-muda? Rupanya, nanti satu-dua tahun kemudian mereka sudah berhenti dan bekerja di perusahaan swasta atau menjadi pengusaha. Dan departemen tersebut harus merekrut lagi para lulusan baru.

Di Singapura, saya simpulkan, rupanya pegawai negeri bukanlah pekerjaan impian dan jauh dari bergengsi.

Ini berbeda dengan Indonesia . Bagi sebagian besar penduduk di negeri ini, menjadi Pegawai negeri adalah pekerjaan idaman. Tiap tahun, lowongan pegawai negeri diburu. Gengsinya tinggi. Selama menjadi pemimpin redaksi, saya paling tidak kehilangan lima wartawan yang beralih profesi menjadi pegawai negeri. Aha, rupanya pekerjaan wartawan pun tidak lebih menarik daripada pegawai negeri.

Saya tidak anti-pegawai negeri. Bagaimanapun fungsi pelayanan di pemerintahan kita harus dijalankan oleh mereka. Tapi, lihatlah kondisinya saat ini. Kinerja pegawai negeri (profesi idaman itu) identik dengan birokrasi yang lamban dan bertele-tele, jauh dari semangat melayani rakyat dengan memuaskan. Dan pegawai negeri kita juga identik dengan gaji rendah, dan itu jadi alasan pembenar untuk korupsi.

Maka kita dengar, tak kurang dari seorang Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua dalam acara penyuluhan bertema “Usaha Memajukan Bangsa dan Negara Dimulai dari Keluarga Yang Beriman” di Departemen Keuangan, tepatnya di Kantor Menko Perekonomian, di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, tahun lalu menyatakan bahwa sebanyak 95 persen dari total Pegawai Negeri Sipil alias PNS korupsi.

Anda tahu jumlah pegawai negeri di Indonesia berapa? 3,7 juta! "Kelakuan buruk ini dipicu oleh gaji kelewat rendah yang diterima PNS," kata Abdullah Hehamahua.

Pegawai negeri banyak, birokrasi lamban, pengusaha sedikit, inilah yang membuat negeri ini lambat maju. Sejumlah penelitian menyimpulkan satu kesimpulan yang sama: Pegawai Negeri kita dan ongkos birokrasi kita sudah jadi beban berat negeri ini.

Coba simak angka ini: Pos belanja pegawai pemerintah pusat menurut APBN-P 2007 mencapai Rp98 triliun dan naik menjadi Rp 128 triliun pada APBN 2008. Nah, Anda tahu? Jumlah belanja pegawai tersebut setara dengan penerimaan sumberdaya alam yang besarnya Rp126 triliun? Artinya, hasil isi perut bumi negeri ini masih belum cukup untuk mengongkosi gaji PNS.

Tahun ini, pemerintah sudah bertekad bahwa penghasilan utama negera kita terutama dari sektor: Pajak! Itu sebabnya di awal tulisan ini saya beradai-andai. Seandainya pemerintah menciptakan kebijakan pendidikan, iklim usaha, yang membuat orang berlomba-lomba jadi pengusaha, artinya pemerintah sebenarnya menciptakan para pembayar pajak potensial!

Ciputra - pengusaha besar yang paling getol mengkampanyekan kewirausahaan di Indonesia itu - pernah mengatakan bahwa akar penyebab kemiskinan di negeri kita ini bukan semata akibat akses pendidikan. "Itu hanya sebagian. Penyebab utamanya adalah karena negara tidak menumbuhkembangkan entrepreneurship dan jiwa entrepreneur dengan baik pada masyarakatnya," kata Ciputra.

“Kita banyak menciptakan sarjana pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja, itu membuat masyarakat kita terbiasa makan gaji sehingga tidak mandiri dan kreatif,” ujar Ciputra.

Nah, bagi seorang Ciputra bukan hanya menjadi pegawai negeri yang harus dikurangi tapi semua profesi yang masih berstatus pegawai, yang makan gajilah pokoknya.

Saya membaca buku Ciputra "Quantum Leap, Entrepreneurship". Ini buku amat bagus isi dan semangatnya, tapi ditulis dengan kurang maksimal. Kebesaran Ciputra seharusnya ditulis dengan sebuah buku yang jauh lebih tebal, lebih menggugah dan lebih menggelorakan semangat berwirausaha. Saya kira harus lebih banyak orang yang membaca buku itu.

Ini rujukan yang kerap dipakai Ciputra. Ia mengutip ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) David McClelland yang menjelaskan bahwa suatu negara disebut makmur jika minimal mempunyai jumlah wirausahawan minimal dua persen dari jumlah penduduk di negara tersebut.

Contohnya adalah Amerika. Pada 2007 lalu negara itu memiliki 11,5 persen wirausahawan di negaranya. Di Singapura ada 4,24 juta wirausahawan pada 2001 atau sekitar 2,1 persen dari penduduk. Empat tahun kemudian jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2 persen. Sementara Indonesia hanya memiliki wirausahawan 0,18 persen dar jumlah penduduk! Sangat sedikit.

Apa yang salah? “Negara kita terlalu banyak memiliki perguruan tinggi dan terlalu banyak menghasilkan sarjana, tetapi sayangnya tidak diimbangi dengan banyaknya lapangan kerja. Generasi muda kita tidak memiliki kecakapan menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri karena mereka terbiasa berpikir untuk mencari kerja” kata Ciputra.

Sudahlah, jangan lagi menambah pengangguran bergelar. Tahun 2008, di Indonesia punya 1,1 juta penganggur lulusan perguruan tinggi

Ayolah, para pengelola perguruan tinggi, ubah kebijakan Anda. Jangan bangga kalau alumni Anda menjadi kepala dinas ini dan itu. Tapi, banggalah kalau kelak Anda bisa menghasilkan pengusaha tangguh. Paling tidak itu bisa dimulai di fakultas ekonomi. Tirulah Israel . Tak bisa kita membantah bahwa pengusaha da perusahaan Yahudi mengusai perekonomia dunia. Apa yang membuat mereka sekuat itu? Salah satunya pendidikan.

Tak perlu malu meniru. Di Israel, mahasiswa di fakultas ekonomi belajar dengan agresif dan serius. Di sana , jurusan ini tidak dibuka dengan sembarangan karena mudah penyelenggaraannya. Dan yang paling menarik, adalah di akhir tahun di universitas, mahasiswa harus menggarap sebuah proyek bisnis berkelompok. Satu kelompok sekitar sepuluh orang. Dan mereka baru akan lulus jika proyek itu dapat keuntungan satu juta dolar AS! Atau Rp9 miliar dengan kurs Rp9.000 per dolar.

Dengan pengalaman menghasilkan uang sebesar itu, apakah mereka masih sangat ingin berebut jadi pegawai negeri? ***Hasan Aspahani (KA)

Kamis, 06 Januari 2011

MTQ Ke-33 Tk. Kabupaten Kutai Kartanegara dilaksanakan 2-10 April 2011



Pelaksanaan MTQ Ke-33 Tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara di Kecamatan Samboja disepakati dilaksanakan pada tanggal 2 sd 10 April 2011.
Hal ini disepakati pada Rapat Koordinasi antara Panitia MTQ Ke-33 Tk. Kabupaten Kutai Kartanegara di BPU Kecamatan Samboja. Hadir pada rapat  tersebut Kepala  Kementrian Agama Kab. Kukar Drs. H. Djamaludin HD, Kabag Kesra Kab. Kukar, Unsur Pengurus LPTQ Kab. Kukar yang diwakili H. Firdaus beserta rombongan Dewan Hakim Khususnya Seksi Musabaqah Tingkat Kabupaten Kukar.  Rapat dipimpin oleh H. Saifuddin HS, S.Sos, MM Camat Samboja  selaku Ketua Umum didampingi Ketua LPTQ Kec. Samboja H. Ardani Syakrani S.Sos, MM yang juga menjadi Sekretaris Umum Panitia MTQ.
Camat Samboja menyampaikan bahwa tahapan-tahapan persiapan telah dilakukan diawali dengan pembentukan panitia, rapat koordinasi antar seksi, pembagian tugas dan tanggung jawab, dan saat ini sejumlah perusahaan tambang dan perusahaan lainnya telah diundang untuk diminta kesediaan dan partisipasinya mendukung dan menyukseskan acara MTQ tahun ini.
Dalam sambutannya, Kepala Kemenag Kukar menyampaikan agar MTQ dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, apakah itu dari segi pelaksanaan teknis  mUsabaqah, Pemondokan Kafilah dan konsumsi. Yang tak kalah penting adalah peningkatan Uang Pembinaan sebagai penghargaan dan rangsangan bagi mereka yang berprestasi dalam bidang Tilawah Al Qur’an di semua jenis lomba.
Pada kesempatan yang sama Ibnu Hamidiansyah selaku Kabag Kesra mewakili asisten IV  Kab. Kutai Kartanegara juga menyatakan bahwa Pemkab siap mendukung sepenuhnya pelaksanaan MTQ Ke 33 Kab. Kutai Kartanegara termasuk pendanaannya. Akan tetapi semua tetap berdasarkan pada peraturan yang ada diantaranya Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa dan Permendagri 13 agar semua dana daerah yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan. (KA)